Minggu, 18 Januari 2009

Pansus RUU Pornografi Bahas Perlindungan Anak

Masalah pornografi anak menjadi agenda pembahasan Panitia Khusus (Pansus) RUU Pornografi DPR di Komisi VIII DPR, di Jakarta, Senin (8/10). Pansus memasukkan masalah tersebut dalam bab baru tentang Perlindungan Anak dari segala bentuk Pornografi dan Pornoaksi sesuai Amanat Presiden. "Pansus kembali membahas RUU Pornografi dan secara khusus dibahas tentang bab baru tentang pornografi anak. Apa lagi sudah ada surat Presiden tanggal 20 September 2007 yang menugaskan tiga menteri untuk membahas RUU itu dengan Pansus," kata Ketua Pansus RUU Pornografi, Balkan Kaplale, kepada SP, Senin (8/10). Menurut Balkan, dengan turunnya Surat Presiden itu maka menurut UU No 10/2004 tentang Pembentukan UU, maka 60 hari kemudian sudah harus dibahas. Tiga menteri yang ditugaskan tersebut adalah Menteri Agama, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informatika. RUU yang sebelumnya bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, ujarnya, sudah berganti nama menjadi RUU Pornografi dan memuat tiga bab, yakni perlindungan anak terhadap pornografi, tindak pidana, dan pornoaksi. Balkan menambahkan, usaha DPR mengajukan RUU tentang Pornografi sempat mendapat pujian di Amerika Serikat (AS) ketika timnya berkunjung ke sana, karena di AS pun UU Pornografi juga mengalami hambatan yang keras sehingga parlemen kemudian memulainya dengan UU Pornografi Anak."Mereka bilang AS memiliki UU Pornografi Anak setelah merdeka lebih dari 200 tahun dan melewati 42 presiden. Dengan UU tersebut, AS misalnya melarang anak di bawah 17 tahun memiliki barang pornografi, seperti foto porno, dan jika ketahuan orangtuanya dipanggil," katanya. Kekerasan Seksual Sementara itu, Direktur Committee Against Sexual Abuse atau Komite Aksi Melawan Kekerasan Seksual Anak, LK Suryani, meminta Pansus RUU Pornografi dapat melindungi anak dari kasus kekerasan seksual. Saat ini, katanya, sejumlah petunjuk membuktikan kaum pedofilia telah menjadikan Bali sebagai salah satu daerah tujuan mereka. Hal itu, ungkapnya, terbukti dengan banyak beredarnya foto-foto anak-anak Bali di internet. Bahkan kasus praktik pedofilia juga pernah terjadi di Lombok, Batam, Medan, Makssar, dan Surabaya. Sejauh ini, menurut dia, bentuk keseriusan pemerintah sangat diperlukan, selain pengawasan terpadu dari seluruh elemen masyarakat. Kalau ditelusuri dalam hukum perlindungan anak di Indonesia, memang sangatlah minim. Terbukti dalam UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak sama sekali tidak mengatur permasalah pelik di atas terkait dengan pornografi anak. Menurut dia, jika fenomena praktik pedofilia tidak segera mendapat perhatian dengan salah satunya memberatkan hukuman bagi para pelaku, terlebih bagi mereka yang terbukti melakukan pedofilia, tidak dapat dibayangkan kelak masa depan anak-anak Indonesia.

Perkembangan TI dan Keamanannya

Perkembangan TI memang tidak seperti perkembangan teknologi yang lain dalam peradaban manusia. Otomotif, misalnya. Sejak ditemukannya mobil model T sampai sekarang nyaris belum ada perkembangan yang mendasar, 4 roda yang dikemudikan oleh setir. Yang terus berkembang mungkin adalah turunan mobil ini yang bernama Formula 1, dimana tim research and development masing-masing konstruktor bertanding untuk mengembangkan mobil F-1 yang tercepat dan teraman dalam perlombaan.
TI, sebuah teknologi yang lebih muda dari otomotif itu, secara cepat terus dan terus berkembang. Ibaratnya, apabila kita berpaling sejenak dari TI maka ketika menoleh kembali kita akan pangling wajahnya. Dengan perkembangan yang sangat pesat ini, suatu ilmu yang kita punyai hari ini mungkin akan berkembang ketika orang lain menemukan ilmu baru keesokan harinya.
Seperti yang saya alami sendiri, ketika baru saja belajar dasar networking dengan media ethernet dan belum menguasai sepenuhnya, ternyata di dunia lain sudah lihai menggunakan
wireless networking. Sebuah teknologi yang dahulu hanya saya baca di majalah, sekarang saya harus melompat untuk mengikutinya agar tidak ketinggalan.
Ada hal yang bagi saya menarik dari teknologi WLAN ini, yaitu tentang mobilitas dan keamanannya. Mobile karena terminal tidak harus bertempat di suatu titik yang dijangkau kabel, juga karena namanya yang wireless, saya tidak perlu susah-susah mengulur kabel.
Bicara tentang masalah keamanan, ini yang juga menarik bagi saya. Dengan gelombang radio wifi yang hilir mudik di sekitar kita, sangat mungkin untuk ditangkap oleh semua orang yang mungkin menguping paket-paket data yang kita kirimkan. Jika dahulu orang harus mencolokkan kabel untuk menyadap jaringan, sekarang dipermudah dengan hanya menangkap gelombang radio yang lalu lalang. Berusaha mengamankannya dengan WEP, setahu saya sekarang sudah banyak beredar software cracker WEP bahkan sudah dikompilasi seperti dalam distro
Bactrack.
Apakah cukup seperti ini kisahnya? Saya yakin tidak, dalam beberapa kedipan mata teknologi-teknologi itu akan berkembang dan perlombaan pengaman dan penguping itu akan terus berlanjut. Bahkan lebih seru lagi.

Perkembangan Pendidikan

BERBINCANG tentang pendidikan di Indonesia seolah tidak mengenal kata selesai. Saya perkirakan sebabnya ada dua. Pertama, pesimisnya masyarakat atas kebijakan pemerintah. Kedua, terlalu bersemangatnya pemerintah untuk mengikuti cepatnya perkembangan pendidikan di belahan lain dunia ini. Bisa jadi pemerintah iri dengan gemerlapnya sistem pendidikan di negeri-negeri lain.
Semestinya kita bisa belajar banyak dari sejarah. Dulu, negeri ini dikenal produsen guru terbaik. Hingga pihak negeri tetangga kita, macam Malaysia, merasa perlu mengimpor tenaga pendidik dari bumi Khatulistiwa ini.Akan tetapi, semua seolah tak lebih dari kenangan manis. Hasil survei terbaru, tahun 2005, menyebutkan Indonesia menduduki ranking 112. Jauh berada di bawah Malaysia dan Bangladesh. Hal itu menunjukkan kenyataan yang membuat kita mengelus dada. Kondisi Human Development Index (HDI) erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia yang ada.Polemik pendidikan di Indonesia selama ini berkutat pada persoalan dana, pengadaan infrastruktur, dan kurikulum bongkar pasang. Seharusnya perdebatan itu tak perlu dilakukan. Sebabnya sederhana saja, bahwa pengadaan ketiga hal itu mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah. Tentu jika memang membutuhkan masukan dari pihak lain, misalnya pengusaha, pakar pendidikan, atau perwakilan masyarakat, hal itu sangat dimungkinkan.Hal lain yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah kondisi generasi muda sekarang. Survei dari lembaga survei di Jakarta yakni AC Nielsen Media menunjukkan bahwa 21 persen dan 34 persen masing masing untuk Fashion Forward dan Constant Hedonist. Keduanya mewakili golongan yang cuek dan asal ikut alur yang ada. Ironisnya, alur pendidikan yang diikuti justru kehilangan arah.Mekanisme trial and error, bongkar pasang kurikulum, dan proses pendidikan yang gagal, adalah serangkaian lontaran yang muncul dari anggota masyarakat saat saya mengikuti Talkshow Generasi Muda dan Pendidikan yang digelar Suara Surabaya FM, Selasa (2/5) mulai pukul 21.00 WIB. Saya menangkap ada pesimisme, atau justru malah kebingungan.Dalam hal ini, ada dua hal yang menjadi kunci solusi yakni konsistensi, dan komitmen. Konsistensi dalam hal penerapan kurikulum dan kebijakan terkait lainnya. Harus ada pembicaraan antara pembuat kebijakan dengan penyelenggara industri atau pihak pemakai produk pendidikan yakni para lulusan, dalam penyusunan kurikulum. Dengan demikian dua dunia tersebut akan terhubungkan oleh jembatan bernama kurikulum pendidikan. Dua dunia tersebut tidak lagi menjadi menara gading di tempatnya.Komitmen dibutuhkan oleh semua pihak. Bahwa semua aspek turut bertanggung jawab pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Pun dalam hal ini generasi muda. Meminjam istilah sahabat saya, generasi muda tidak boleh terus-menerus memposisikan diri sebagai korban. Saatnya semua pihak bergerak di tempat dan bidangnya masing-masing.Momentum Hari Pendidikan Nasional kali ini sudah diawali pemerintah yang menunjukkan itikad baiknya. Hal itu terkait dengan diluncurkannya tiga pilar rencana strategis pembangunan pendidikan yang dilansir oleh media massa. Pertama, peningkatan dan penguatan akses pendidikan. Kedua, peningkatan relevansi dan daya saing mutu pendidikan. Ketiga, peningkatan tata kelola dan citra publik pengelola pendidikan.Saya berpikir bahwa kita tidak perlu merasa malu atau kalah dengan Malaysia yang dengan gagah berani memotong 40 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kemajuan pendidikan. Itikad baik pemerintah, dan semoga berlanjut dengan komitmen, untuk mewujudkan 20 persen APBN menjadi hak sektor pendidikan harus disambut baik. Paling tidak menjadi penyemangat bagi semua pihak dalam rangka pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, dan unggul agar tidak terbawa arus globalisasi. Semoga…!!