Masalah pornografi anak menjadi agenda pembahasan Panitia Khusus (Pansus) RUU Pornografi DPR di Komisi VIII DPR, di Jakarta, Senin (8/10). Pansus memasukkan masalah tersebut dalam bab baru tentang Perlindungan Anak dari segala bentuk Pornografi dan Pornoaksi sesuai Amanat Presiden. "Pansus kembali membahas RUU Pornografi dan secara khusus dibahas tentang bab baru tentang pornografi anak. Apa lagi sudah ada surat Presiden tanggal 20 September 2007 yang menugaskan tiga menteri untuk membahas RUU itu dengan Pansus," kata Ketua Pansus RUU Pornografi, Balkan Kaplale, kepada SP, Senin (8/10). Menurut Balkan, dengan turunnya Surat Presiden itu maka menurut UU No 10/2004 tentang Pembentukan UU, maka 60 hari kemudian sudah harus dibahas. Tiga menteri yang ditugaskan tersebut adalah Menteri Agama, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informatika. RUU yang sebelumnya bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, ujarnya, sudah berganti nama menjadi RUU Pornografi dan memuat tiga bab, yakni perlindungan anak terhadap pornografi, tindak pidana, dan pornoaksi. Balkan menambahkan, usaha DPR mengajukan RUU tentang Pornografi sempat mendapat pujian di Amerika Serikat (AS) ketika timnya berkunjung ke sana, karena di AS pun UU Pornografi juga mengalami hambatan yang keras sehingga parlemen kemudian memulainya dengan UU Pornografi Anak."Mereka bilang AS memiliki UU Pornografi Anak setelah merdeka lebih dari 200 tahun dan melewati 42 presiden. Dengan UU tersebut, AS misalnya melarang anak di bawah 17 tahun memiliki barang pornografi, seperti foto porno, dan jika ketahuan orangtuanya dipanggil," katanya. Kekerasan Seksual Sementara itu, Direktur Committee Against Sexual Abuse atau Komite Aksi Melawan Kekerasan Seksual Anak, LK Suryani, meminta Pansus RUU Pornografi dapat melindungi anak dari kasus kekerasan seksual. Saat ini, katanya, sejumlah petunjuk membuktikan kaum pedofilia telah menjadikan Bali sebagai salah satu daerah tujuan mereka. Hal itu, ungkapnya, terbukti dengan banyak beredarnya foto-foto anak-anak Bali di internet. Bahkan kasus praktik pedofilia juga pernah terjadi di Lombok, Batam, Medan, Makssar, dan Surabaya. Sejauh ini, menurut dia, bentuk keseriusan pemerintah sangat diperlukan, selain pengawasan terpadu dari seluruh elemen masyarakat. Kalau ditelusuri dalam hukum perlindungan anak di Indonesia, memang sangatlah minim. Terbukti dalam UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak sama sekali tidak mengatur permasalah pelik di atas terkait dengan pornografi anak. Menurut dia, jika fenomena praktik pedofilia tidak segera mendapat perhatian dengan salah satunya memberatkan hukuman bagi para pelaku, terlebih bagi mereka yang terbukti melakukan pedofilia, tidak dapat dibayangkan kelak masa depan anak-anak Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar